14 November

Terdengar sayup-sayup hujan dari balik jendela
kamarku. Dingin yang sempat kurasakan, menyeok-nyeok bagaikan ribuan belati tajam
yang mencabik-cabik
lapisan kulit luarku, tetapi perlahan kini menghilang. Bukan karena udara yang
menjadi hangat, akan tetapi
karena ruang kecil dalam hati ini yang telah mendidih. Hingga panasnya telah
merata pada seluruh lapisan kulit serta organ tubuhku. Kurasakan hati bergetar
keras, melawan rakusnya kebimbangan yang kini menelan bulat seluruh memori
dalam benakku. Antara rasa iba dan benci. Antara sesal dan harapan. Antara caci
dan do’a. Antara hasrat dan ketakutan. Antara Tuhan beserta ketiadaan-Nya.
Antara sayang dan kemunafikan. Antara dendam dan belas kasih. Antara kekuatan
dan kelemahan. Dan semua jenis kata yang mengikhtiarkan ketidakberdayaan.
Mungkin
aku harus sedikit membuka kembali halaman buku lama yang telah usang. Di mana
di sana telah tertulis perjalanan sosok hidupku, bersama dia, dengan masing-masing peran dan jalan
kehidupannya. Dan tersetting dalam sebuah plot keharusan, pertemuan dan
perpisahan. Mungkin banyak orang mengatakan bahwa ini takdir, meskipun aku tak
begitu mempedulikannya.
Setahun lalu aku mengenalnya. Lelaki berusia 3 bulan lebih tua dariku
itulah yang telah mewarnai hari-hariku. Tepatnya di kelas XI IPA 4, yang sering
kami juluki Bottle Anggur, aku dipertemukan dengan sosok lelaki cerdas, namun
kadang tak waras. Namanya adalah Frasetio. Aku amat menyukai kepribadiannya. Dia
memiliki karakter yang begitu kuat. Dia memiliki keyakinan kecil terhadap dirinya
sendiri. Dia adalah sosok manusia yang memiliki idealisme tinggi dalam hal
kehidupan, keyakinan, dan pemikiran. Dia kadang seperti orang gila, yang hobi
melakukan hal-hal yang tak masuk logika. Mental dan kepribadiannya yang
abnormal, perhatiannya terhadap hal-hal kecil, dengan diselisihi sikap
solidaritas, penuh dengan kasih dan keterbukaan, membuat aku terkesan padanya. Walau kadang aku tak sabar menghadapinya.
Aku, seorang gadis yang kurang dewasa. Masih ingin dimanja dan selalu
ingin dimengerti, tanpa pernah memahami hati dan pikirannya. Teringat akan
peristiwa 21 hari yang lalu. Hari dimana keceriaanku mulai padam.
Tiiit.. tiiiit… Terdengar nada tanda pesan
handphone ku. Aku pun segera membacanya, hmm dari Frasetio.
-Aku depan rumah, km keluar yah-
Segera saja aku bergegas ke depan rumahku
sambil membawakan hasil gambar yang telah ditugaskan oleh Pak Anjun, guru
kesenian di sekolahku. Ya, Fras memang pintar dalam berbagai bidang pelajaran,
kecuali pelajaran menggambar. Maka dia memintaku untuk membuatkan gambar,
karena menurutnya aku ahli dalam bidang ini (haha).
“Wah, gambarnya bagus banget! Gak nyesel aku
mohon-mohon ke kamu buat gambarin, kapan-kapan kamu bikinin lagi ya!” pujinya.
Dalam hatiku ada perasaan bangga, haha.
“Oh ya, katanya kamu mau ngomong sesuatu, ayo
dong aku mau dengerin. Ada
apa sih Fras?” tanyaku keheranan.
5 detik, dia menatap mataku. Raut
wajahnya, menggambarkan sebuah garis hitam kepedihan. Tutur katanya, melukiskan
sebuah warna beban yang terlalu berat untuk dia pikul sendirian. Tatapan
matanya, memancarkan sebuah sinar semu penderitaan. Hatinya, seakan tengah
menjelaskan sebuah kekecewaan yang teramat mendalam. Seperti mau
bicara, namun tak ingin. Aku menatap matanya. Aku perhatikan, matanya sembab,
terlihat habis menangis semalaman. Kemudian, dia mulai berbicara sesuatu,
mengucapkan beberapa patah kalimat. 32 detik.. 1 menit.. 2 menit.. 4 menit..
Jleb. Hatiku seperti tertusuk ribuan jarum. Melihat langit cerah pun bagaikan
awan kelabu. Mataku tak mengijinkan airnya keluar. Aku harus menerima keadaan
ini. Kami putus.
Ah.. rasanya aku tak sanggup membayangkan hari
itu. Perasaanku seperti permen Nano-nano. Manis, asam, asin, rame rasanya.
Senangnya, dengan putus mungkin masalah yang membelit hubungan antara aku
dengannya akhir-akhir ini bisa kami lupakan. Dan rasa sedihnya, ternyata lebih
banyak!
Sejak hari itu, aku mulai menyibukkan diriku
dengan melakukan kegiatan bersama teman-temanku. Kami belajar dan bermain, bercanda,
tertawa, menghabiskan banyak waktu. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak
memikirkannya, karena dengan memikirkannya, otomatis rasa itu muncul.
Dua minggu kemudian, aku mendapat kabar dari
teman-temanku bahwa dia membonceng seorang cewek. Dan mereka melihat peristiwa
tersebut beberapa kali di waktu yang berbeda. Hah?! Aku terkejut. Tak sadar aku
pun menangis. Ya, semenjak putus, aku belum pernah menangis, mungkin ini
saatnya untuk meluapkan segenap emosiku. Malamnya aku merenung dan berpikir, aku
bukan siapa-siapanya lagi, mengapa aku harus cemburu? Aku tidak boleh egois,
aku tidak mempunyai hak untuk melarangnya. Lagian, aku kan tidak tahu bahwa itu temannya atau .. pacar
barunya. Tapi, tetap saja hati ini tidak ikhlas. Dan memang benar, aku masih
menyukainya. Bagaimanapun, dia pernah ada dalam kehidupanku dengan posisi teramat
special. Tak kan mudah melupakan orang yang telah 11 bulan
selalu ada untuk kita, menjalani cerita cinta.
Aku menyukaimu, karena kau tidak peduli jika aku bertindak konyol di depanmu. Aku menyukaimu karena kau bertindak bodoh dan konyol di depanku juga. Aku menyukaimu
karena kau tidak pernah menyerah untukku. Aku menyukaimu
karena kau mendukungku pada saat-saat ketika aku membutuhkannya. Aku menyukaimu
karena kau satu-satunya yang bisa membaca emosi palsuku ketika aku menunjukkannya pada orang lain. Aku menyukaimu karena bahkan setelah semuanya kacau akibat perselisihan kita, kau tidak pernah berubah. Aku menyukaimu karena kau tidak memaksaku untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin aku lakukan. Aku menyukaimu
karena kau menunggu untukku. Aku menyukaimu karena meskipun kau marah padaku, kau
selalu hadir untukku dan lupa bahwa kau sedang marah. Aku menyukaimu karena kau tidak pernah gagal membuatku tersenyum setiap hari. Aku menyukaimu karena kau tidak peduli dengan apa yang aku kenakan. Aku menyukaimu karena kau cukup dewasa. Aku menyukaimu karena banyak hal dan banyak alasan. Dan aku tahu bahwa aku akan menghabiskan seumur hidupku untuk hanya memberitahumu mengapa aku menyukaimu, karena ada begitu banyak hal tentang kau dan aku, tentang kita yang membuatku menyukaimu. Dan
akhirnya, aku menyukaimu, karena kau sahabatku, teman terbaik yang selalu ada untukku. Aku menyukaimu, dan itu membuatku frustasi karena aku bahkan tidak bisa
menemukan kata yang tepat atau menemukan cara yang tepat tentang bagaimana aku
bisa mengungkapkan betapa aku menyukaimu. Yang
paling bisa aku katakan adalah
aku menyukaimu, sangat. Terima kasih untuk selalu berada di sini, terima kasih telah menyukaiku. Terima kasih untuk hari-hari itu. Ya, aku sedang galau.
aku menyukaimu, sangat. Terima kasih untuk selalu berada di sini, terima kasih telah menyukaiku. Terima kasih untuk hari-hari itu. Ya, aku sedang galau.
Aku terbangun dari lamunanku. Segera aku sadar bahwa semua itu telah berlalu.
Sudah 21 hari aku putus dengannya. Gemericik air hujan masih terdengar. Hmm,
harusnya ku buka lembaran baru, jangan memikirkan masa lalu terus. Hari ini,
ya, 14 November 2011. Kalau aku masih jadian
dengannya, maka hari ini tepat satu tahun umur jadian kami. Sayangnya itu tidak
terjadi.
Tiiiit.. tiiitt.. tiiiit.. ponselku berdering, pertanda ada SMS. Wah,
dari Frasetio. Hatiku riang gembira haha.
“Gina, ntar sore aku ke rumahmu yaa”
Segera aku balas, “iya Fras sok aja”
Paling dia mau
meminjam buku catatan, gumamku. Setelah
putus, kami memang menjalin komunikasi yang cukup baik, namun tidak semulus
dahulu sewaktu masih jadian. Kami saling menghubungi jika kami memang sedang
butuhnya saja.
Kriiiiinggg.. kriiingggg
“Hallo” sapaku.
“Aku di samping rumah kamu nih, kesini ya sekarang!” pinta Fras.
“ooh iya iya oke sip” jawabku. Aku segera menuruni anak tangga untuk
menemuinya. Sebenarnya dia ada perlu apa
ya? Tanyaku dalam hati.
Seperti biasa kami mulai berbasa-basi dan membuka topik pembicaraan.
Setelah ngobrol ngaler-ngidul, dia
memberiku sesuatu.
“Gina!! Ini buat kamu, terima yaaaa!” ucapnya sembari menjulurkan
tangannya yang sedang memegang sebuah keresek berwarna pink.
“Wah buat aku? Makasiiih hahaha tapi ini apaan?” tanyaku sambil
membolak-balikan keresek berisi barang empuk tersebut.
“Buka aja..” jawabnya sambil tersenyum. OMG! Baru kali ini aku melihat
senyum manisnya lagi. Cakep. Aku segera membukanya, dan ow ow.. aku menemukan
sebuah boneka domba yang sering muncul di sebuah serial animasi berjudul “Shaun
The Sheep” yang ditayangkan di MNC TV.
“Ih lucu bangeeeet bonekanya hahaha makasih Frasetio iiiih cakep deh
hahaha” rayuku.
Dia hanya tersenyum. Kemudian menatapku, namun tatapannya kali ini terlihat
penuh harap. “Hmm.. Gina, kamu mau ga jadi pacarku lagi?”
Tawaku langsung terhenti. Aku hanya bengong dan menatapnya. Seperti
tidak percaya atas apa yang telah diucapkannya. Hari ini, tanggal 14 November
2011, aku mendengar pertanyaan yang sama darinya seperti yang telah ku dengar
pada tanggal 14 November 2010 silam, setahun yang lalu, di tempat yang berbeda.
Ya Tuhan, terima kasih untuk hari ini, untuk sore ini, untuk pertanyaan itu.
Dia masih menyukaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar